Mahasiswa
IAIN Surakarta
Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah
Jurusan Aqidah Filsafat
Jurusan Aqidah Filsafat
Hp. 085879011243
Bahasa dan
Makna
Michael
Foucault "Jika Anda ingin menaklukan kekuasaan, anda tidak perlu menyerang
fisiknya, tapi jajahlah wacananya."
Dewasa ini kegelisahan dominasi asing bukanlah sebuah wacana baru
dalam sejarah Indonesia. Diberbagai media masa mengungkapkan wacana dengan
berbagai macam perspektif bahasa. Bahasa merupakan salah satu aspek terpenting
dalam sebuah kehidupan sosial masyarakat. Hal ini menjadikan membaca dan
menafsir menjadi hal yang selalu melekat dalam diri seorang manusia. Kebanyakan
orang beranggapan sederhana bahwa bahasa adalah sesuatu yang taken for granted dan menjadi sesuatu
yang netral. Namun sebenarnya pemahaman mengenai bahasa tidak lah sesederhana
itu. Sebagai sebuah hasil konstruksi sosial, sistem dan tautan kata dalam
bahasa sebenarnya menginterpretasikan sign
(tanda).
Bahasa tidak lagi dipahami sebagai sebuah media netral penyampai
pesan, melainkan menjadi modus utama dalam kekuasaan sosial dan politik. Bahwa,
bahasa kini tidak lagi menjadi alat percakapan antar manusia, tapi dia telah
menjelma menjadi senjata untuk membangun kolonilisasi. Ia tidak lagi menjadi
netral, tapi subjektif, karena bahasa adalah alat yang dipakai untuk berkuasa.
Berangkat dari
kegelisahan yang ada dalam setiap diri manusia, dimana kita selalu
dihadapkan pada problematis yang disajikan para founding father kita.
Mereka teramat sering menyajikan goresan tintanya diatas kertas yang
berbeda-beda dengan yang lainnya, sehingga menuntut kita untuk bisa memfilter
dan memilah, bahkan menerobos jauh sehingga kita bisa membedakan mana sejarah
yang dibuat secara subjektif (berdasarkan diri sendiri) dan sejarah
secara objektif (berdasarkanrealitas yang ada).
Distorsi
makna Bahasa dan posmodernisme
“Masa depan
kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini” – Max Horkheimer
Impelementasi
postmodernisasi bahasa sangat erat terjadi dalam perselingkuhan antara media
dan liberalisme. Maka tak heran, makna-makna liberal dan haram diperhalus
sebaik mungkin hingga ia menjadi bahasa terpandang bahkan elegan. Riba
dipercantik menjadi bunga, sodomi lebih manis disebut homoseks, bahkan pelacur
di era posmo ini adalah “profesi” yang paling beruntung. Iya tidak lagi
dianggap zina, karena jabatannya lebih terpandang dengan sebutan pekerja seks
komersial. Karenanya, tidak heran seorang.
Sumanto Al
Qurthuby, dalam bukunya Jihad Melawan Ekstrimisme Agama mempertanyakan
sebagian orang yang risih dengan pelacur. Karena, bagi Sumanto, seorang pelacur
derajatnya sama dengan seorang pekerja. “Jika seorang dosen ‘menjual’ otaknya
demi mendapatkan honor, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan
yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?”
tanyanya sinis.
Dalam kajian
strukturalisme, bahasa bisa ada karena adanya system perbedaan (system of difference) yang membedakan
tanda satu dengan yang lain, dan oposisi biner adalah inti dari system
perbedaan ini. Sistem ini pula yang menjadi komponen utama yang membentuk
pemikiran filsafat barat seperti baik/buruk, jiwa/badan, dan makna/bentuk,
dimana makna pertama selalu lebih superior dibanding makna kedua. Inilah yang
disebut logosentrisme yang kemudian
makna pertama mempunyai hak istimewa untuk melecehkan makna kedua.
Sepakat dengan
arif wibowo: bila latinisasi dilakukan maka akan terjadi deislamisasi. pemaknaan sangat penting dalam bahasa, Dikotomi
penyepesialan dan pelecehan makna bahasa ini berjalan paralel dengan yang
terjadi dalam penentuan nilai kebenaran. Petanda kebenaran yang harusnya
eksternal dari penanda kemudian menyatu dengan penanda dalam bahasa. Kesatuan
bentuk petanda-penanda yang hadir bersamaan (metafisika kehadiran) inilah yang
dikritik oleh derrida karena hal tersebut hanya bisa hadir dalam tuturan, bukan
tulisan. Metafisika kehadiran merupakan metafora ideal sebuah kebenaran. Namun
dalam kehidupan manusia hal adalah sesuatu yang utopis, karena kebenaran
haruslah berasal dari penutur kebenaran yang benar-benar.
Lagi-lagi saya
sepakat dengan Arif Wibowo: kurang relevanan ketika mengutip tulisan dalam
surat R.A. Kartini sebagai perwujudan “Islam latin di Indonesia” Ketika
seseorang menulis sebuah teks, secara otomatis terjadi keterputusan hubungan
antara sang penulis dan teks hasil tulisannya. Penulis tidak lagi mempunyai
otoritas dalam menghadirkan petanda dalam tulisannya karena tulisan nya telah
diserahkan kepada orang lain dan masa depan, sehingga makna dari penulis pada
waktu menulis bisa jadi telah terputus karena orang yang membaca tulisan
tersebut memiliki penafsiran sendiri dalam mengungkap penanda tersebut.
Terlebih jika jangka waktu dalam penyampaiannya dari penulis ke pembaca cukup
lama, distorsi makna bukan tidak mungkin akan terjadi.
Menurut
Derrida, distorsi inilah yang terjadi dalam modernitas. Dalam diskursus ini,
penanda dianggap sama juga dianggap memiliki petanda yang sama meskipun konteks
semantik yang membentuk kedua orang tersebut berbeda. Oleh karena itu, Derrida
mengajak kita untuk membuka kekakuan modernitas ini dengan dekonstruksinya.
Nietzsche,
Postmodern beranggapan bahwa tidak ada yang namanya kebenaran total. Konsep
manusia seperti salah dan benar, kebenaran dan kepalsuan, atau buruk dan baik
tidak dapat tidak relatif terhadap cara bagaimana dunia dilihat (Pip. Jones,
2009: 227). . Manusia tidaklah dapat lepas dari sejarahnya, dari ruang dan
waktu tempat dia berdiri, hal ini merupakan bentuk kritik dari cara berpikir
modernisme yang beranggapan bahwa pengetahuan obyektif dapat dicapai secara
ahistoris.
Postmodern
memandang segala jenis kebenaran yang ditawarkan, entah itu Agama, Kebudayaan,
maupun Ilmu Pengetahuan, adalah sekumpulan wacana yang saling bertarung satu
sama lain. Manusia hanya dapat mengetahui melalui bahasa dan wacana padahal
bahasa dan wacana itu sendiri tidak pernah bisa mutlak benar atau salah. Bila
modernisme begitu terobsesi pada kesadaran, kehadiran, dan keterpusatan maka
postmodern justru mengajak untuk merayakan ketidaksdaran, ketidakhadiran,
ketersebaran, dengan cara merangkul perbedaan-perbedaan, dan menunjukkan
keberanian melawan segala bentuk totaliterisme. serta upaya tak henti-henti
untuk mencari kebaruan (Bamang Sugiharto, 1996: 27). Apakah sesuatu itu;
berkuasa karena benar, atau benar karena berkuasa? Ini adalah pertanyaan yang
menggelitik postmodernis ketika dihadapkan pada suatu ideologi yang mapan.
Postmodern
beserta ajakanya untuk merayakan kekayaan perbedaan dengan menolak segala
bentuk totalitas tentu merupakan suatu ajakan yang menggiurkan untuk memperluas
horizon kearifan kita, namun sikap tersebut juga harus diimbangi dengan daya
kritis yang tiada henti, bila tidak maka niscaya postmodern mungkin akan mengalami
kejatuhan sebagaimana yang dialami oleh modernisme yang hendak dikritisinya.
Seberapapun
menarik dan menggairahkanya tawaran Postmodern, agaknya terdapat juga
kekhawatiran mengenainya, dapatkah wacana terpinggirkan yang diangkat tersebut
bisa mengimbangi atau setidaknya memberikan perlawanan pada wacana yang telah
mapan? Dapatkah Kebijaksanaan lokal (adat-istiadat) yang telah babak belur
membendung arus akumulasi kapital? Dan bukankah postmodern juga melahirkan gaya
hidup post-modernitas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar