Muzaiyanah
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam /IAIN Surakarta)
Lahirnya gerakan mahasiswa tidak lepas dari perpolitikan bangsa
Indonesia. Dalam hal ini sejarah gerakan mahasiswa sesuai dengan konteks
perkembangan zaman. Artinya gerakan ini benar-benar mengarah dan bersandar pada
problem-problem serta kebutuhan masyarakat.
Tindakan politik merupakan cermin dari bagian mahasiswa Indonesia
dalam memahami masyarakatnya. Agar kebutuhan rakyat dapat terpenuhi serta
pencapaian nilai- nilai pada ideologi.
Kita bisa melacak gerakan mahasiswa sebagai pemuda dalam buku Yozar
Anwar berjudul Pergolakan Mahasiswa Abad 20, gerakan tersebut antara lain Boedi
Oetomo, Sumpah Pemuda, gerakan memperjuangkan kemerdekaan hingga Proklamasi RI
serta gerakan Reformasi 1998. Sebuah bukti nyata dari seorang pemuda untuk
menjadikan politik ke arah lebih baik.
Cikal bakal didirikannya Budi Utomo tahun 1908, berawal dari
keinginan dr Wahidin Sudirohusodo mendirikan yayasan beasiswa (studiesfonds),
ide awal gagasan ini adalah untuk memajukan pengajaran dan pendidikan para
pemuda Indonesia agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi. Keinginan dr.Wahidin tersebut disampaikan kepada mahasiswa STOVIA
(Sekolah dokter pribumi) di Jakarta, sehingga didirikanlah organisasi Budi
Utomo sebagai ketua Sutomo.
Sejak tahun 1945 hingga 1966, mahasiswa mampu bangkit karena
melihat kondisi negara yang sedang menghadapi ke goncangan sistem politik
nasional. Ditambah dengan kondisi kemiskinan yang merajalela di perkotaan
maupun di pedesaan, serta rusaknya sarana dan prasarana.
Alhasil gerakan mahasiswa intra kampus, selama periode ini menjadi
dependen, ekslusif, dan cenderung pragmatik (orientasi pada ke
ilmuwan dan hal-hal yang lebih jelas lagi). Mahasiswa saat itu digiring menjadi
apolitis. Mereka adalah mahasiswa dengan IPK tinggi dan menguasai keilmuannya
namun tidak cukup kuat memiliki interelasi dengan akar rumput, gagap menghadapi
dinamika sosial, serta kurang mau
mengambil resiko.
Gerakan mahasiswa era depolitisasi kampus dalam masa orde
baru, dimana mahasiswa dikembalikan pada
habitat aslinya yakni sebagai penggagas ilmu pengetahuan. Sehingga kampus
sebagai tempat berijtihadnya kader-kader intelektual. Dalam hal ini adanya
organisasi mahasiswa adalah bagian dari integral guna mewujudkan visi perguruan
tinggi, yakni meningkatkan nalar kritis
mahasiswa.
Dapat kita ulas gerakan mahasiswa tahun 1998 dalam novel Andromeda
yang ditulis oleh Nisa'ul Kamila Chisni (2008). Pada masa Orde Baru yang
represif dan tidak demokratis ini banyak terjadi demonstrasi baik yang
dipelopori dari mahasiswa maupun rakyat sipil.
Demonstrasi ini demi
menggulingkan rezim orde baru yang acap kali mengintimidasi dan menindas
siapapun yang menghalangi keterwujudan absolusitas kekuasaan sang pemimpin. Tak
terhitung berapa banyak aktivis yang tiba-tiba menghilang. Penculikan para
penghambat kekuasaan rezim orde baru kerap terjadi. Mulut-mulut kritis di
bungkam, tulisan-tulisan cerdas dihanguskan, orang-orang berhati nurani
disingkirkan, sejarah pun diputar balikkan demi kekuasaan mutlak seumur hidup.
Di era orde baru, kaum tionghoa memang mendapatkan perlakuan
diskriminatif. Mereka diberi tanda khusus pada KTP, dipersulit mengurus paspor,
SIM dan lainnya. Mereka juga tidak diperbolehkan memasuki arena politik dan
didiskriminasi dalam hal militer dan pegawai negeri sipil. Bahkan perayaan Hari
Raya mereka pun dilarang.
Pada 12 Mei 1998 terjadi chaos berskala nasional. Mahasiswa
di hadapkan dengan beberapa aparat dan juga militer. Di pertengahan aksi
terjadi sebuah kerusuhan. Barisan demonstran terpecah menjadi dua bagian dan
tengahnya terisi pasukan berseragam loreng dengan berkendara motor. Tiap motor
di tunggangi oleh dua tentara, satu menyetir dan lainnya dalam posisi berdiri
memegang senjata bak di medan perang. Di sore yang berhujan ini suasana menjadi
panas. Terdengar tembakan-tembakan yang diarahkan pada mahasiswa. Aparat
kepolisian mengamuk, mereka juga mengejar mahasiswa dengan senapan teracung.
Mahasiswa dibunuh, ditendang hingga berdarah-darah.
Menjadi mahasiswa selayaknya sadar akan peran dan tangung jawab. Ketika
era reformasi kaum intelektual dibunuh, tidak adanya ruang membaca serta
diskusi. Sekarang sudah banyak buku, ada perpustakaan. Sehingga mahasiswa
sebagai agent of change, semestinya mampu menggerakan perpolitikan
bangsa sebagai rasa tanggung jawab kemanusiaan. Karena rakyat tidak sekedar
membutuhkan IPK, tetapi butuh gerakan
nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar