Agama dan Fanatisme

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Latipa Nur Fauzi
(Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam)

            Sejatinya sejarah agama-agama sering diwarnai oleh realitas yang paradoksal, karena di satu sisi agama menganjurkan perdaiman, tetapi disisi lain, menyerukan peperangan dan kekerasan, dan di sisi lain mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusiaan, namun disisi lain juga mencapakkannya memulai serangkian perang dan kekerasan. Seperti Perang Salib, Perang Agama pada abad 16 dan 17. Belum lagi konflik yang berujung pada perang dan kekerasan yang di lakukan oleh kelompok-kelompok di antara umat beragama yang sama
            Di dalam Islam sendiri sudah banyak lembaran sejarah yang di warnai dengan peperangan dan kekerasan. Di mulai pada masa Khalifah Rasyidin  pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Mereka semua di bunuh secara tragis di kalangan umat Muslim yang seharusnya menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Selain itu konflik internal di antara umat Muslim sendiri sering berujung pada pertumpahan darah dan kekerasan di antara sesamanya, seperti pada perang Shiffin dan Perang Jamal. Aksi kekerasan juga terjadi pada kejayaan Islam di masa Bani Abbasiyah. Negara melalui lembaga inkuisisi (mihnah) paling bertanggungjawab atas pertumpahan darah di Abbasiyah. Mihnah merupakan lembaga bentukan Negara untuk menertibkan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan penguasa. Eksisitansi Mihnah ini meruapakan bentuk Negara untuk melakukan penyeragaman pemikiran keagamaan di kalangan umat Muslim. Dengan adanya lembaga tersebut pemikiran keagamaan tidak di izinkan untuk berbeda  atau keluar dari mazhab resmi Negara. Korban dari pembentukan Mihnah ini adalah Imama Ahmad bin Hambal yang tetap pada pendiriannya yang beraliran Sunni. Munculnya konflik tersebut adalah soal doktrin kemahlukkan Al-quran. Dalam hal ini Imam Ahmad meyakini bahwa Al-quran bukanlah makhluk. Sebaliknya Negara meyakini bahwa Al-quran adalah mahluk
            Jatuhnya korban di kalangan internal umat Islam tidak hanya terjadi pada masa awal Islam, bahkan di masa modern saat ini semakin banyak terjadi konflik yang melibatkan umat Muslim di seluruh dunia. Konflik yang di dasari pada idiologi-keagamaan yang melanda dunia Islam, terutama di kawasan Timur-Tengah. Hingga kini daerah tersebut masih membara, di liputi konflik dan pertumpahan darah sesama umat Muslim. Singkat kata, tiada hari tanpa kekerasan di Timur-Tengah. Selain itu juga ada konflik internal antara golongan Sy’iah dan Sunni yang di mulai sejak awal penyebaran Islam di luar Jazirah Arab. Hingga saat ini peta peradaban Islam  bahkan terbelah kedalam kubu Sy’iah dan Sunni. Kekerasan dan peperangan menjadi penyelesaian masalah di kalangan internal umat Islam yang di reproduksi. Tak  hanya pada pada Islam, bahkan pada agama lain juga tak jauh dari kekerasan dan bahkan berujung pada perang, seperti konflik antara penganut Katolik dan Protestan di Eropa, antara Hindu dan Islam di India, antara Budha dan Islam di Myanmar
Fanatisme
            Di era digital saat ini, banyak masyrakat yang sering mendapat suguhan tentang berbagai berita, entah tentang ekonomi, politik, budaya, moral, bahkan berita tentang kekerasan, baik kekerasan seperti memeberi label bid’ah, sesat, kafir, dan penista agama kepada pihak lain, baik kekerasan fisik seperti pembakaran tempat ibadah, pemukulan, dan pembunuhan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Baik melibatkan orang-orang non-Muslim, orang Barat, dan orang-orang Islam sendiri yang berbeda aliran, pemikiran, politik, idiologi. Mereka begitu yakin saat melakukan kekerasan dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, dan tak merasa bersalah sedikitpun. Bahkan mereka yakin dengan tindakannya mendapatkan dukungan dari Tuhan dengan surga sebagai imbalannya
            Mereka meligitimasi kekerasan itu dengan mengambil peristiwa peperangan yang di lakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan umat Islam melawan kaum Yahudi di Madinah, dan melawan orang kafir di Makkah pada peristiwa pembebasan Makkah. Peperangan yang bersifat sosiologis dan historis itu di jadikan landasan sebagai jihad fi sabillilah dan kelak mereka akan masuk surga bagi yang mati syahid. Mereka menggunakan Al-quran dan Hadis Nabi sebagai landasannya dengan memilih ayat-ayat dan hadis tertentu yang bernada ‘keras’ seperti ayat tentang jihad,qital, naqi mungkar. Mereka meyakini melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan lebih di sebabkan oleh cara berfikir mereka dalam menalar Islam dan nalar keisllaman yang mengidiologi. Jika cara nalar Islam itu sendiri membantu mereka memahami Islam dengan benar, namun nalar islam yang mengidiologi membuat mereka menyakininya sebagai satu-satunya cara dalam memahami Islam yang paling benar. Nalar Islam yang mengidiologi itu pada akhirnya di sakralkan itu membuat mereka semakin yakin akan
            Seperti kasus Nasr Hmid Abu Zaid di vonis murtad hanya karena mengkritik pemikiran Imam al-Syafi’i dan fukaha negara di Mesir dengan karyanya naqd Khitab al-Dini(Nasr Hamid Abu Zaid:2000). Gerakan Islam Ahmadiyah juga di sebut sesat karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi selain Muhammad Saw, dan di tuduh mempunyai kitab suci selain Al-quran. Warga NU yang menjadi simbol gerakan Sunni yang biasa bertasawul kepada Nabi Muhammad Saw dan ulama saleh di tuduh melakukan bid’ah, syirik, kafir (karena Nabi Muhammad Saw tidak pernah melakukan tradisi tersebut), masyrakat Indonesia yang di tuduh sesat karena menerima Pancasila sebagai Idiologi Bangsa, dan tidak mendirikan Negara Islam.
            Dengan begitu, munculnya Islam yang santun dan toleran di kalangan masyarakat diharapkan mampu menjadi counter hadirnya sifat fanatis dalam beragama. Dikhawatirkan sifat fanatisme akan mengarah pada Islam yang ekstrem dan radikal sampai munculnya kasus terorisme.

Komentar

POPULER

Musta'in. R (Esai untuk sahabat)

Rapat Kerja UKM Dinamika