Sains Modern dalam Pandangan Islam

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Latifah Nur Fauzi 
(Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam/IAIN Surakarta)

     Isu tentang sains Islam merupakan perkembangan isu tentang Islam dan Sains yang muncul sejak abad XVII terkait dengan kontak Islam dan Barat dalam keseluruhan dunia Islam. Pada saat itu, dunia Islam sedang terjangkit catching up sydrom (sindrom pengejaran ketertinggalan)
Untuk mengatasi hal tersebut upaya dari pemerintah Turki Usmani untuk memodernisasi diri setelah mengalami berbagai kekalahan perang melawan Eropa. Kegagalan menguasai Wina (1683 M) merupakan titik awal kekalahan yg di ikuti kegagalan dalam mempertahankan kawasan Eropa Timur, sehingga wilayah tersebut lepas ke tangan bangsa Eropa. Melalui perjanjian Carlowits (1699 M) Hungaria pindah kekuasaan ke Austria, Polandia dan Avoz ke Rusia. Pemerintah Turki Usmani berkesimpulan bahwa faktor penyebab rangkaian kekalahan tersebut adalah ketertinggalan teknologi militer dari bangsa Eropa. Satu-satunya jalan adalah dengan mengejar ketertinggalan yg di lakukan dengan mengirim duta untuk melihat dari dekat sejauh mana kemajuan Eropa kala itu. Sultan Ahmad III (1703-1730M ) mulai mengadakan pembaharuan di Turki dengan mengadopsi sains dan teknologi Barat. Ini di lakukan dengan mengirim orang ke Barat dan mengundang orang Barat khususnya untuk mengajar strategi dan penggunaan peralatan moderen. Dilanjutkan dengan mempelajari dan menyebarkan sains Barat melalui penerjemahan. Usaha lain juga di lakukan oleh Mohammad Ali Pasya di Mesir pasca peninggalan Napoleon yg mendirikan laboratorium di Mesir menjadi tonggak modernisasi di Mesir.
Dalam perkembangannya, adopsi sains dan teknologi berkutat dalam ilmu-ilmu alam merambah ke ilmu lain sebagai dampak dari penerjemahan buku-buku Barat dan pengiriman pelajar ke Barat. Pemikiran politik ketatanegaraan, filsafat, sastra dan lainnya juga turut mempengaruhi masyrakat Islam. Pengaruh tersebut sangat nyata di Turki, antara lain masuknya unsur hukum-hukum Barat khusunya Perancis, perubahan struktur pemerintah dengan pembatasan wewenang Syeikh hanya pada hukum Islam. Selain itu di Mesir juga marak pemikiran Barat sejak al-Tahtawi hingga Abduh. Mengejar ketertinggalan dalam bidang sains dan teknologi merupakan upaya membangun kembali kejayaan peradaban Islam. Corak modernisasi semacam ini menyiratkan bahwa sains dan teknologi tidak mepengaruhi keyakinan keagaman. Sains dan teknologi adalah alat yang netral dan dapat digunakan oleh siapa saja sekalipun berbeda agama dan budaya. Pandangan ini ditegaskan oleh banyak pemikir yg dapat di golongkan pada kelompok instrumentalis. Selain itu terdapat sekelompok ilmuwan tidak sekedar mendukung upaya aposisi dan adopsi sains Barat, karena tidak di temukan pertentangannya dengan Islam, bahkan mereka lebih jauh berupaya menunjukkan keselarasan Al-quran dengan sains modern. Berbagai temuan sains modern di tunjukkan dalam  ayat-ayat  Al-quran yg terkait sehingga dapat membuktikan bahwa temuan itu selaras dengan pernyataan Al-quran. Hal  tersebut membuktikan kebenaran Al-quran secara ilmiah. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu kemukjizatan Al-quran, karena telah berbicara tentang kebenaran ilmiah sebelum sains modern membicarakannya. Bahkan muncul konferensi  internasional tentang kemukjizatan Al-quran dan hadis pada 18 Oktober 1997 oleh Internatonal Islamic University Islamabad dan Hay'at al-I'jaz al-'Ilmi fi al-Qur'an wa al-Sunnah di Mekkah. Semua bahasannya berkisar pada bagian-bagian tertentu dari Al-quran dan hadis melalui temuan ilmiah sebagai pembuktian kebenarannya. Keterbuktian ilmiah tersebut dapat mendongkrak rasa percaya diri umat Islam dalam ketertinggalannya dari Barat dalam bidang sains.
Sains dan Islam
   Dalam hubungannya, aspek sains secara lebih fundamental oleh para pemikir sains islam yang lebih  dikenal dengan proyek islamisasi sains, atau yang di sebutkan oleh Muzaffar Iqbal sebagai 'jaringan baru' (new nexus). Mereka tidak hanya melihat sains sekedar instrumen yang netral karena menekankan pada sisi temuan, juga tidak menekankan pada temuannya untuk  membuktikan kebenaran wahyu. Mereka melihat sains secara lebih menyeluruh bahkan menyentuh aspek-aspek fundamentalnya, tokoh-tokoh tersebut seperti Syed Muad Nauqid Al-Attas (1931), Ismail R. al-Faruqi (1921 - 1986), Zainuddin Sardar (1951).  Para pemikir ini tidak melihat sains hanya sebagai kumpulan teori atu temuan yg di terapkan dalam teknologi beserta metode khasnya. Mereka juga tidak melihat sains Barat sepenuhnya jelek sehingga harus di tolak.
 Sama seperti pemikir sains Islam lainnya, Al-Faruqi menilai sains Barat bukan sekedar instrumen yg netral. Karena persoalan dan pengalaman sejarah yg berbeda dunia Islam dan Barat cenderung memperlihatkan orientasi yg berbeda. Persoalan ketertinggalan dalam bidang sains dan pandangan terhadap kebudayaan Barat yg masih mewarisi mental abad tengah memberikan dominasi wacana agama dan sains dalam dunia Islam. Selain itu tujuan untuk kemajuan Islam tersebut disisi lain memperlihatkan perbedaan orientasi wacana di Barat
  Selain itu umat Islam juga berhadapan dengan persoalan teologis, mengingat sains datang dari budaya Barat yang selama ini di anggap sebagai kafir atau bahkan musuh. Maka berbagai wacana yg muncul dalam relasi Islam dan sains dapat di katakan sebagai proses dari bagian "apropriasi". Meminjam istilah A.I Saban, sebagai proses aktif asimilasi dan integrasi warisan suatu budaya ke dalam matriks hidup budaya umat Islam klasik ketika mengambil warisan khazanah Yunani. Inilah yg terjadi dalam dunia Islam sebagai sebuah dinamika percarian formulasi yg tepat dalam agama dan sains

Komentar

POPULER

MAKNA PAKAIAN

DAFTAR PESERTA LOLOS SAYEMBARA PROPOSAL PENELITIAN UKM LPM DINAMIKA 2016