Latipa Nur Fauzi
(Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam)
"Dalam sebuah Instusi di Connecticut Indonesia
menepati ranking 60 dalam World's Most Literate Nations Ranked, Dari 61
negara"
Wah,
peringkat yang mengerikan bukan. Kita lihat negara tetangga kita, yakni
Malaysia berada di
peringkat 59. Bukan
hanya dalam bidang membaca. Indonesia juga rendah dalam bidang sains, dan
matematika. Dimana Indonesia menepati urutan ke 2 dari bawah dengan perolehan
nilai 382. Sedangkan matematika juga tak ada bedanya, dalam bidang sains dengan skor
368.
Melihat
peringkat tersebut, miris bukan? Dimana masa penjajahan kolonial yang menjadi dalang, di balik
rendahnya minat baca di Indonesia. Ataupun pada rezim orde baru, yang tidak
mementingkan pelajaran humaniora, terutama sastra.
Namun masalah ini juga ditandai
dengan munculnya revolusi digital, yang dimulai dengan munculnya internet,
ponsel dan sosial media, dimana kebiasaan membaca buku teralihkan dengan
kegiatan bersosial-media.
Selain
itu angka buta huruf di Indonesia, juga masih tinggi. Meskipun teknologi dan informasi yang
pesat seperti sekarang. Tidak dapat menyingkirkan fakta bahwa jutaan penduduk
Indonesia masih terdapat
yang buta huruf.
Bedasarkan
pusat data dan statistik Kemendikbud tahun 2015, angka buta huruf di Indonesia
mencapai 5.984.184.
Ini tersebar di enam provinsi meliputi, Jawa Timur dengan jumlah 1.258.184,
Jawa Barat dengan Jumlah 604.683, Jawa Tengah dengan Jumlah 943.683 orang,
Papua dengan jumlah 584.441 orang, Sulawesi selatan dengan angka 375.221 orang,
Nusa Tenggara Barat 315.258 orang (Tirto.id).
Data
tersebut cukup memprihatinkan. Literasi tampaknya belum sepenuhnya di peluk
sebagai suatu budaya yang beriringan dengan kehidupan sehari-hari. Fenomena ini
juga bisa dilihat dalam lingkungan sekitar. Kebiasaan seperti membaca buku
ditempat umum masih langka di jumpai
Memulai
untuk menjadi pembaca tak perlu menjadi The good reader dimana para Sherlock Holmes, yang membaca, membuat
observasi, membaca simbol dengan teliti dan menikmari tautan dan kaitan setiap
simbol pada kajian. Namun
kita bisa memulainya menjadi The bad reader seperti Dr. Watson, yang
membaca sebuah peristiwa dari permukaan, dan menceritakan kembali apa yang
terlihat kasat mata.
Kurangnya
minat dalam membaca buku, membuat daya kritis untuk diskursus dan berdiskusi
menurun drastis, karena teralihkan dengan tradisi sosial media dan media online
yang serba lekas, terburu-buru dan tidak menghargai kemampuan bertanya dan
menganalisa. Sehingga informasi seperti fake news atau berita bohong di
terima dengan mudah.
Pemerintah
perlu membuat formulasi yang lebih mutakhir untuk menumbuhkan literasi jangka
panjang. Pembangunan negara tidak melulu berfokus kepada aspek fisiknya, melainkan
beriringan dengan pembangunan wawasan serta
segenap sumber daya manusia. Selayaknya para pemikir dan pendiri bangsa yang berhasil
memerdekakan pikirannya
terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar