Agama dan Fanatisme

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Latipa Nur Fauzi
(Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam)

            Sejatinya sejarah agama-agama sering diwarnai oleh realitas yang paradoksal, karena di satu sisi agama menganjurkan perdaiman, tetapi disisi lain, menyerukan peperangan dan kekerasan, dan di sisi lain mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusiaan, namun disisi lain juga mencapakkannya memulai serangkian perang dan kekerasan. Seperti Perang Salib, Perang Agama pada abad 16 dan 17. Belum lagi konflik yang berujung pada perang dan kekerasan yang di lakukan oleh kelompok-kelompok di antara umat beragama yang sama
            Di dalam Islam sendiri sudah banyak lembaran sejarah yang di warnai dengan peperangan dan kekerasan. Di mulai pada masa Khalifah Rasyidin  pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Mereka semua di bunuh secara tragis di kalangan umat Muslim yang seharusnya menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Selain itu konflik internal di antara umat Muslim sendiri sering berujung pada pertumpahan darah dan kekerasan di antara sesamanya, seperti pada perang Shiffin dan Perang Jamal. Aksi kekerasan juga terjadi pada kejayaan Islam di masa Bani Abbasiyah. Negara melalui lembaga inkuisisi (mihnah) paling bertanggungjawab atas pertumpahan darah di Abbasiyah. Mihnah merupakan lembaga bentukan Negara untuk menertibkan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan penguasa. Eksisitansi Mihnah ini meruapakan bentuk Negara untuk melakukan penyeragaman pemikiran keagamaan di kalangan umat Muslim. Dengan adanya lembaga tersebut pemikiran keagamaan tidak di izinkan untuk berbeda  atau keluar dari mazhab resmi Negara. Korban dari pembentukan Mihnah ini adalah Imama Ahmad bin Hambal yang tetap pada pendiriannya yang beraliran Sunni. Munculnya konflik tersebut adalah soal doktrin kemahlukkan Al-quran. Dalam hal ini Imam Ahmad meyakini bahwa Al-quran bukanlah makhluk. Sebaliknya Negara meyakini bahwa Al-quran adalah mahluk
            Jatuhnya korban di kalangan internal umat Islam tidak hanya terjadi pada masa awal Islam, bahkan di masa modern saat ini semakin banyak terjadi konflik yang melibatkan umat Muslim di seluruh dunia. Konflik yang di dasari pada idiologi-keagamaan yang melanda dunia Islam, terutama di kawasan Timur-Tengah. Hingga kini daerah tersebut masih membara, di liputi konflik dan pertumpahan darah sesama umat Muslim. Singkat kata, tiada hari tanpa kekerasan di Timur-Tengah. Selain itu juga ada konflik internal antara golongan Sy’iah dan Sunni yang di mulai sejak awal penyebaran Islam di luar Jazirah Arab. Hingga saat ini peta peradaban Islam  bahkan terbelah kedalam kubu Sy’iah dan Sunni. Kekerasan dan peperangan menjadi penyelesaian masalah di kalangan internal umat Islam yang di reproduksi. Tak  hanya pada pada Islam, bahkan pada agama lain juga tak jauh dari kekerasan dan bahkan berujung pada perang, seperti konflik antara penganut Katolik dan Protestan di Eropa, antara Hindu dan Islam di India, antara Budha dan Islam di Myanmar
Fanatisme
            Di era digital saat ini, banyak masyrakat yang sering mendapat suguhan tentang berbagai berita, entah tentang ekonomi, politik, budaya, moral, bahkan berita tentang kekerasan, baik kekerasan seperti memeberi label bid’ah, sesat, kafir, dan penista agama kepada pihak lain, baik kekerasan fisik seperti pembakaran tempat ibadah, pemukulan, dan pembunuhan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Baik melibatkan orang-orang non-Muslim, orang Barat, dan orang-orang Islam sendiri yang berbeda aliran, pemikiran, politik, idiologi. Mereka begitu yakin saat melakukan kekerasan dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, dan tak merasa bersalah sedikitpun. Bahkan mereka yakin dengan tindakannya mendapatkan dukungan dari Tuhan dengan surga sebagai imbalannya
            Mereka meligitimasi kekerasan itu dengan mengambil peristiwa peperangan yang di lakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan umat Islam melawan kaum Yahudi di Madinah, dan melawan orang kafir di Makkah pada peristiwa pembebasan Makkah. Peperangan yang bersifat sosiologis dan historis itu di jadikan landasan sebagai jihad fi sabillilah dan kelak mereka akan masuk surga bagi yang mati syahid. Mereka menggunakan Al-quran dan Hadis Nabi sebagai landasannya dengan memilih ayat-ayat dan hadis tertentu yang bernada ‘keras’ seperti ayat tentang jihad,qital, naqi mungkar. Mereka meyakini melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan lebih di sebabkan oleh cara berfikir mereka dalam menalar Islam dan nalar keisllaman yang mengidiologi. Jika cara nalar Islam itu sendiri membantu mereka memahami Islam dengan benar, namun nalar islam yang mengidiologi membuat mereka menyakininya sebagai satu-satunya cara dalam memahami Islam yang paling benar. Nalar Islam yang mengidiologi itu pada akhirnya di sakralkan itu membuat mereka semakin yakin akan
            Seperti kasus Nasr Hmid Abu Zaid di vonis murtad hanya karena mengkritik pemikiran Imam al-Syafi’i dan fukaha negara di Mesir dengan karyanya naqd Khitab al-Dini(Nasr Hamid Abu Zaid:2000). Gerakan Islam Ahmadiyah juga di sebut sesat karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi selain Muhammad Saw, dan di tuduh mempunyai kitab suci selain Al-quran. Warga NU yang menjadi simbol gerakan Sunni yang biasa bertasawul kepada Nabi Muhammad Saw dan ulama saleh di tuduh melakukan bid’ah, syirik, kafir (karena Nabi Muhammad Saw tidak pernah melakukan tradisi tersebut), masyrakat Indonesia yang di tuduh sesat karena menerima Pancasila sebagai Idiologi Bangsa, dan tidak mendirikan Negara Islam.
            Dengan begitu, munculnya Islam yang santun dan toleran di kalangan masyarakat diharapkan mampu menjadi counter hadirnya sifat fanatis dalam beragama. Dikhawatirkan sifat fanatisme akan mengarah pada Islam yang ekstrem dan radikal sampai munculnya kasus terorisme.

Wajah Literasi dalam Pendidikan

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Latipa Nur Fauzi
(Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam)

"Dalam sebuah Instusi di Connecticut Indonesia menepati ranking 60 dalam World's Most Literate Nations Ranked, Dari 61 negara"
Wah, peringkat yang mengerikan bukan. Kita lihat negara tetangga kita, yakni Malaysia berada di peringkat 59. Bukan hanya dalam bidang membaca. Indonesia juga rendah dalam bidang sains, dan matematika. Dimana Indonesia menepati urutan ke 2 dari bawah dengan perolehan nilai 382. Sedangkan matematika juga tak ada bedanya, dalam bidang sains dengan skor 368.
Melihat peringkat tersebut, miris bukan? Dimana masa penjajahan kolonial yang menjadi dalang, di balik rendahnya minat baca di Indonesia. Ataupun pada rezim orde baru, yang tidak mementingkan pelajaran humaniora, terutama sastra.
Namun masalah ini juga ditandai dengan munculnya revolusi digital, yang dimulai dengan munculnya internet, ponsel dan sosial media, dimana kebiasaan membaca buku teralihkan dengan kegiatan bersosial-media.
Selain itu angka buta huruf di Indonesia, juga masih tinggi. Meskipun teknologi dan informasi yang pesat seperti sekarang. Tidak dapat menyingkirkan fakta bahwa jutaan penduduk Indonesia masih terdapat yang buta huruf.
Bedasarkan pusat data dan statistik Kemendikbud tahun 2015, angka buta huruf di Indonesia mencapai 5.984.184. Ini tersebar di enam provinsi meliputi, Jawa Timur dengan jumlah 1.258.184, Jawa Barat dengan Jumlah 604.683, Jawa Tengah dengan Jumlah 943.683 orang, Papua dengan jumlah 584.441 orang, Sulawesi selatan dengan angka 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang (Tirto.id).
Data tersebut cukup memprihatinkan. Literasi tampaknya belum sepenuhnya di peluk sebagai suatu budaya yang beriringan dengan kehidupan sehari-hari. Fenomena ini juga bisa dilihat dalam lingkungan sekitar. Kebiasaan seperti membaca buku ditempat umum masih langka di jumpai
Memulai untuk menjadi pembaca tak perlu menjadi The good reader  dimana para  Sherlock Holmes, yang membaca, membuat observasi, membaca simbol dengan teliti dan menikmari tautan dan kaitan setiap simbol pada kajian. Namun kita bisa memulainya menjadi The bad reader seperti Dr. Watson, yang membaca sebuah peristiwa dari permukaan, dan menceritakan kembali apa yang terlihat kasat mata.
Kurangnya minat dalam membaca buku, membuat daya kritis untuk diskursus dan berdiskusi menurun drastis, karena teralihkan dengan tradisi sosial media dan media online yang serba lekas, terburu-buru dan tidak menghargai kemampuan bertanya dan menganalisa. Sehingga informasi seperti fake news atau berita bohong di terima dengan mudah.
Pemerintah perlu membuat formulasi yang lebih mutakhir untuk menumbuhkan literasi jangka panjang. Pembangunan negara tidak melulu berfokus kepada aspek fisiknya, melainkan beriringan dengan pembangunan wawasan serta segenap sumber daya manusia. Selayaknya para pemikir dan pendiri bangsa yang berhasil memerdekakan pikirannya terlebih dahulu.

Menggerakan Politik Mahasiswa

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Muzaiyanah
(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam /IAIN Surakarta)

Lahirnya gerakan mahasiswa tidak lepas dari perpolitikan bangsa Indonesia. Dalam hal ini sejarah gerakan mahasiswa sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Artinya gerakan ini benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem serta kebutuhan masyarakat.
Tindakan politik merupakan cermin dari bagian mahasiswa Indonesia dalam memahami masyarakatnya. Agar kebutuhan rakyat dapat terpenuhi serta pencapaian nilai- nilai pada ideologi.
Kita bisa melacak gerakan mahasiswa sebagai pemuda dalam buku Yozar Anwar berjudul Pergolakan Mahasiswa Abad 20, gerakan tersebut antara lain Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, gerakan memperjuangkan kemerdekaan hingga Proklamasi RI serta gerakan Reformasi 1998. Sebuah bukti nyata dari seorang pemuda untuk menjadikan politik ke arah lebih baik.
Cikal bakal didirikannya Budi Utomo tahun 1908, berawal dari keinginan dr Wahidin Sudirohusodo mendirikan yayasan beasiswa (studiesfonds), ide awal gagasan ini adalah untuk memajukan pengajaran dan pendidikan para pemuda Indonesia agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Keinginan dr.Wahidin tersebut disampaikan kepada mahasiswa STOVIA (Sekolah dokter pribumi) di Jakarta, sehingga didirikanlah organisasi Budi Utomo sebagai ketua Sutomo.
Sejak tahun 1945 hingga 1966, mahasiswa mampu bangkit karena melihat kondisi negara yang sedang menghadapi ke goncangan sistem politik nasional. Ditambah dengan kondisi kemiskinan yang merajalela di perkotaan maupun di pedesaan, serta rusaknya sarana dan prasarana.
Alhasil gerakan mahasiswa intra kampus, selama periode ini menjadi dependen,  ekslusif,  dan cenderung pragmatik (orientasi pada ke ilmuwan dan hal-hal yang lebih jelas lagi). Mahasiswa saat itu digiring menjadi apolitis. Mereka adalah mahasiswa dengan IPK tinggi dan menguasai keilmuannya namun tidak cukup kuat memiliki interelasi dengan akar rumput, gagap menghadapi dinamika sosial,  serta kurang mau mengambil resiko.
Gerakan mahasiswa era depolitisasi kampus dalam masa orde baru,  dimana mahasiswa dikembalikan pada habitat aslinya yakni sebagai penggagas ilmu pengetahuan. Sehingga kampus sebagai tempat berijtihadnya kader-kader intelektual. Dalam hal ini adanya organisasi mahasiswa adalah bagian dari integral guna mewujudkan visi perguruan tinggi,  yakni meningkatkan nalar kritis mahasiswa.
Dapat kita ulas gerakan mahasiswa tahun 1998 dalam novel Andromeda yang ditulis oleh Nisa'ul Kamila Chisni (2008). Pada masa Orde Baru yang represif dan tidak demokratis ini banyak terjadi demonstrasi baik yang dipelopori dari mahasiswa maupun rakyat sipil.
 Demonstrasi ini demi menggulingkan rezim orde baru yang acap kali mengintimidasi dan menindas siapapun yang menghalangi keterwujudan absolusitas kekuasaan sang pemimpin. Tak terhitung berapa banyak aktivis yang tiba-tiba menghilang. Penculikan para penghambat kekuasaan rezim orde baru kerap terjadi. Mulut-mulut kritis di bungkam, tulisan-tulisan cerdas dihanguskan, orang-orang berhati nurani disingkirkan, sejarah pun diputar balikkan demi kekuasaan mutlak seumur hidup.
Di era orde baru, kaum tionghoa memang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mereka diberi tanda khusus pada KTP, dipersulit mengurus paspor, SIM dan lainnya. Mereka juga tidak diperbolehkan memasuki arena politik dan didiskriminasi dalam hal militer dan pegawai negeri sipil. Bahkan perayaan Hari Raya mereka pun dilarang.
Pada 12 Mei 1998 terjadi chaos berskala nasional. Mahasiswa di hadapkan dengan beberapa aparat dan juga militer. Di pertengahan aksi terjadi sebuah kerusuhan. Barisan demonstran terpecah menjadi dua bagian dan tengahnya terisi pasukan berseragam loreng dengan berkendara motor. Tiap motor di tunggangi oleh dua tentara, satu menyetir dan lainnya dalam posisi berdiri memegang senjata bak di medan perang. Di sore yang berhujan ini suasana menjadi panas. Terdengar tembakan-tembakan yang diarahkan pada mahasiswa. Aparat kepolisian mengamuk, mereka juga mengejar mahasiswa dengan senapan teracung. Mahasiswa dibunuh, ditendang hingga berdarah-darah.
Menjadi mahasiswa selayaknya sadar akan peran dan tangung jawab. Ketika era reformasi kaum intelektual dibunuh, tidak adanya ruang membaca serta diskusi. Sekarang sudah banyak buku, ada perpustakaan. Sehingga mahasiswa sebagai agent of change, semestinya mampu menggerakan perpolitikan bangsa sebagai rasa tanggung jawab kemanusiaan. Karena rakyat tidak sekedar membutuhkan IPK,  tetapi butuh gerakan nyata.




Pemaknaan Kata "Hijrah" di Kalangan Milenial

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Latipa Nur Fauzi 
IAIN Surakarta

Makna hijrah yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad adalah membawa dari yang buruk menjadi lebih baik. Dari fanatisme sempit kepada dialog. Dari pelaku diskrimitatif menuju keadilan. Dari kekerasan menuju kedamaian. Dari mudah marah menuju pengendalian diri dan sabar. Hijrah adalah proyek trasformasi sosial untuk mengubah watak Makkah yang suka menindas dan anti kritik, menjadi watak yang egaliter, santun dan terbuka pada kritik
Najib Kailani dari UIN Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa istilah hijrah muncul sejak tahun 1990-an, saat kajian komunitas di kampus-kampus yang mengadakan liqo dan halaqah. Usai kejatuhan Soeharto, pasarlah yang bermain sehingga perlu diperluas ruang pemasarannya
Namun beberapa tahun terakhir fenomena hijrah menjadi wacana yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Fenomena hijrah berkembang pesat dikalangan milenial perkotaan. Gema hijrah terus disuarakan diberbagai media sosial, seperti facebook, twitter, insagram, youtube dan lain sebagainya. Baik oleh kalangan netizen maupun ustadz-ustadz seleb, seperti Felix Siau, Hanan Attaki dan lain sebagainya. Dengan wacana-wavana syar’i lainnya, seperti nikah muda, ta’aruf
Istilah hijrah dalam Islam didasarkan pada peristiwa hijrah-nya (pindah) Rasullulah dari Makkah menuju Madinah. Dalam hal ini, hijrah tidak hanya di maknai berpindah secara fisik dari satu keaadan, kekeadaan lain. Singkatnya hijrah menandai momentum perpindahan dari perubahan dalam diri seseorang dari keburukan menuju kebaikan. Akan tetapi, ada pemaknaan yang khas dalam konteks fenomena hijrah, yang berkembang dikalangan milenial perkotaan saat ini, yakni penekanan makna hijrah pada aspek eksistensialny, bukan pada aspek subtansialnya
Bagi kaum perempuan hijrah akan senantiasa dikaitkan dengan perubahan cara berbusana yang lebih islami. Tatacara berbusana yang islami merujuk kepada cara berpakaian seorang muslimah yang menutup aurat. Oleh karena itu wacana hijrah bagi perempuan tidak bisa dilepaskan dari seputar penggunaan jilbab yang besar, cadar, dan busana-busana muslimah seperti gamis.
Tidak jauh berbeda dengan kaum perempuan. Tata cara berbusana juga juga menjadi perhatian bagi kaum laki-laki. Biasanya pada cela yang digunakan, dalam menggunakan celana laki-laki dilarang untuk isybal (celana yang panjangnya melebihi mata kaki) karena wujud dari kesombongan (Republika.com). Selain itu kaum laki-laki juga dianjurkan untuk memanjangkan jenggot, dan mencukur kumis sebagai perwujutan dari sunah rasul.
Perubahan berikutnya yaitu penggunaan istilah-istilah kata yang diambil dari Bahasa Arab. Beberapa kata yang sering di gunakan adalah “ukhti” untuk menyebut saudara perempuan, “akhi” untuk menyebut saudara laki-laki, “ana” untuk menyebut saya atau aku, “anta/antum” untuk menyebut kamu atau kalian, “na’am/la” untuk menyatakan iya atau tidak. Akhirnya generasi milenial tidak hanya memindahkan gaya hidup yang sekarang, yang diyakini jauh lebih baik dan islami. Tetapi juga bagian dari fenomena sosial untuk memperkuat identitas sebagai generasi hitz zaman now versi syar’i.
Fakta-fakta di atas merupakan tahap yang diyakini dalam berhijrah. Tetap saja hal tersebut menunjukkan adanya bentuk narsisme atau keyakinan untuk diakui, dalam hal ini terjadi pergeseran nilai dalam menjalankan perintah keagamaan yang bernilai etis-ideologis menjadi estetis-eksistesialis
Pemaknaan kata hijrah di atas, terkadang menimbulkan  kerenggangan hubungan sosial dengan teman lama yang belum berhijrah. Hal ini dikarenakan pola berpikir hijrah yang menekankan pada aspek eksistensial. Serta cenderung membuat dikotomi antara “aku yang sudah berhijrah” dan “mereka yang belum berhijrah”. Akan lebih ekstrim lagi jika mereka yang tidak mengenakan atribut seperti kita yang telah berhijrah, dengan menyebutnya kafir.
Oleh karena itu makna hijrah, harus dikembalikan pada asalnya. Bahkan hijrah bukan hanya terbatas pada aspek eksistensinya saja. Tetapi hijrah harus mampu menembus batas-batas fisik, karena hijrah bukan hanya persoalan sudah bercadar atau tidak, hijrah bukan persoalan seberapa besar kerudungmu. Seberapa cingkrang celanamu, juga bukan seberapa panjang jenggotmu. Hijrah itu tentang bagaimana kita memperbaiki hubungan kita kepada Allah, kepada manusia dan kepada alam sekitar.

Menahan budaya Konsumerisme bulan Ramadhan

LPM Dinamika IAIN Surakarta



Rizky Rachmawan
(Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam/IAIN Surakarta)

Alhamdulilah memasuki hari ke 3 ramadhan kita masih di berikan kesehatan serta nikmat sempat menjalankannya. Sehingga kita Insyaallah terus meningkatkan keimanan serta menumbuhkan ketakwaan dalam diri. Ahamdulilah meskipun cuaca sedikit berubah-ubah namun masih sehat. Terimakasih kepada kedua orang tua, karena selalu memberikan semangat untuk berbuat baik, bermartabat serta bermanfaat dalam bulan Ramadhan ini.
Berbagai godaan datang dalam bulan yang suci (ramadhan). Pada dasarnya iman seseorang selalu di benturkan, selalu di uji dengan keadaan sekitar. Mulai dari melihat orang lain minum es cincau, es krim di panasnya terik matahari. Terasa begitu memikat, tetapi lagi- lagi kita tidak boleh melakukan perbuatan tersebut. Karena makna dari puasa adalah menahan diri, menahan dari segala sesuatu yang sifatnya duniawi, seperti contohnya: begitu anggun seseorang wanita yang kita jumpai di mal-mal, tampak begitu anggun, terasa ia lah makhluk sempurna, tetapi dia bukan istri kita melainkan milik orang lain, maka dari itu seharusnya kita berpuasa untuk menghindarkan dari perbuatan zina.
Ada sedikit cerita di salah satu kampus agama islam di Surakarta. Dalam nuansa Ramadhan kali ini perkuliahan masih berjalan lancar, masih berjalan seperti biasanya. Nampaknya semua mahasiswanya menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk di lingkungan kampus. Jelas saja mereka sangat khusyuk, karena di dalam kampus seperti kantin, warung tidak boleh buka pada pagi maupun siang hari.
Puasa baru beberapa hari dan teman sejawat sudah ramai mengajak bukber (buka bersama). Sebenarnya ajakan tersebut baik karena mengikat tali persaudaraan, tali silaturahmi. Namun juga dapat menimbulkan pemborosan. Belum teman satu organisasi yang pasti akan melakukan hal yang sama, di tambah lagi meningkat kan program kerja, sebenarnya niatnya baik tetapi kurang sinkron dengan program kerja yang sebelumnya diajukan di SK.
Semoga awal puasa yang kita lakukan semaksimal mungkin, dengan kita memperlakukan manusia seperti manusia, banyak yang lupa cara memperlakukan manusia seperti manusia. Manusia sebagai makhluk sosial harus di perlakukan sebaik mungkin untuk menjaga perasaanya.

Resensi Buku Dari Membela Tuhan, Ke Membela Manusia karya Dr. Aksin Wijaya





Judul Buku : Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia
Penulis         : Aksin Wijaya
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Tebal Buku  : 262 halaman
Cetakan I : Juni 2018
ISBN             : 978-602-441-067-4

                           Nalar Membela Islam

     Kesejarahan umat Muslim dalam membela agama demi misi politik dan kekuasaan telah banyak menimbulkan konflik dan kekerasan. Kekerasan ini disebabkan oleh berbagai penalaran dan penafsiran pemikiran Islam yang tidak sejalan dengan ajaran Islam pluralis. Pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw, umat Muslim mulai beradu argumentasi demi kepentingan politis untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Hal itu yang menimbulkan awal perpecahan umat Muslim tatkala agama dijadikan alat politik untuk hasrat kekuasaan secara komunal. 
Dalam buku Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan karya Aksin Wijaya (2018), kita dapat mengetahui genealogi kekerasan yang ditimbulkan oleh gerakan islamisme yang mengatasnamakan agama. Kesalahan memaknai ajaran agama Islam ini menjadi penyebab tindakan radikal yang bermula dari fanatisme suku masyarakat Arab. Genealogi gerakan islamisme ini terjadi ketika fanatisme suku bernafsu memperebutkan kedudukan dan kekuasaan kepemimpinan Islam. Fanatisme suku itu berlanjut menjadi konflik internal yang dialami umat Muslim sejak masa khalifah Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu diangkat sebagai khalifah ke-empat.  
Sejak perang siffin yang terjadi antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah berlangsung, menyebabkan perpecahan umat Islam semakin tampak jelas. Peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah telah melahirkan kelompok-kelompok Islam fundamental. Kekecewaan itu disebabkan sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim dari Mu’awiyah. Politik berbasis agama yang digunakan Mu’awiyah telah berhasil memecah belah kubu Ali bin Abi Thalib. Dari peristiwa itu, Ali bin Abi Thalib mengalami kekalahan dan menimbulkan perpecahan hingga membentuk gerakan islamisme Khawarij dan Wahabi. 
Terbentuknya berbagai gerakan islamisme ini sangat mempengaruhi tujuan pemikiran dan nalar dalam beragama. Seperti halnya kelompok Khawarij yang memiliki ideologi fanatik, keras, kaku, dan intoleransi ketika pemahaman agama tidak sejalan dengan kelompoknya. Dari buku ini, Aksin membagi kelompok Khawarij menjadi dua tipe paham Islam tekstual. Selain Khawarij, gerakan Islam Wahabi juga termasuk kelompok gerakan islamisme yang menjadi sumber kekerasan dalam sejarah umat Muslim. Pada dasarnya gerakan islamisme seperti Khawarij dan Wahabi tersebut memiliki misi politis untuk memperoleh kekuasaan dengan cara menafsirkan agama secara tekstual sebagai pedoman.
   Selain itu, misi kelompok ekstrem ini juga memiliki cara dakwah yang begitu radikal dengan kembali murnikan paham Islam yang hanya bersandar kepada Alquran dan Hadis. Pemikiran tersebut telah menolak untuk mempertimbangkan metode ijtihad yang semestinya senantiasa melihat kultur sosial dan budaya masyarakat Muslim secara kontekstual. Pandangan pemikiran Islam tekstual seperti ini yang sejak reformasi pemikiran pembaharuan Islam di dunia Islam telah dikembangkan oleh beberapa pemikir Islam konservatif. Seperti Al-Maududi dan Sayyid Qutb yang seringkali digunakan gerakan islamisme sebagai rujukan dalam berdakwah untuk menyebarkan risalah kekakuan makna dalam ajaran Islam. 
Selain mencermati penalaran gerakan islamisme yang tekstual, Aksin juga memberikan perbandingan paradigma pemikiran Islam itu secara kontekstual sebagai diskursus dalam membaca peta pemikiran Islam. Kehadiran tokoh pemikir Islam pluralis seperti Muhammad Said Asymawi, Muhammad Abu Al-Qasim Haj Hammad, dan Muhammad Syahrur telah berhasil mengembangkan metodologi pemikiran Islam menjadi lebih terbuka akan gagasan saling menghargai (toleransi). Pemikiran Islam pluralis tersebut dalam menalar agama ini lebih menekankan pada aspek antroposentris ketimbang secara teosentris. 
Perbedaan dalam pemikiran Islam secara teosentris ini yang seringkali memicu adanya kekerasan berbasis agama lantaran kurangnya sikap saling menghargai. Kefanatikan gerakan islamisme dengan aspek teosentris ini selalu menjadi pedoman bahwa membela Tuhan lebih penting ketimbang membela manusia. Padahal gagasan pemikiran Islam itu hanyalah seputar persoalan jihad, penegakan khilafiyah, dan mendirikan negara Islam. Namun bila gagasan tersebut tanpa diselingi ijtihad yang kuat dan matang tidak mungkin akan mampu menimbulkan kemaslahatan sosial. Maka paradigma itulah yang malah menimbulkan kekerasan dalam mengatasnamakan agama semakin merajalela.  
Abdullahi Ahmed An-Na’im pernah menulis buku berjudul Islam Dan Negara Sekular: Menegosisikan Masa Depan Syariah (2007). An-Na’im adalah pemikir Islam pluralis yang berijtihad demi meneliti pemberlakuan hukum Islam dan sistem pemerintahan di berbagai negara Muslim. Secara teoritis dari hasil penelitian An-Na’im telah mengemukakan bahwa di masa masyarakat Islam modern sistem pemerintahan yang menerapkan khilafah islamiyah (negara Islam) sangatlah tidak relevan bagi kemaslahatan sosial. Karena sistem pemerintahan tersebut sering disalahgunakan sebagai otoritas para politisi untuk memperpanjang masa kekuasaan dalam kepemimpinan. Selain itu, di samping menjadi kekuatan politik, sistem pemerintahan yang berbasis agama ini bila tetap dijalankan akan sangat berpengaruh terhadap ketidakadilan dan ketidaksejahteraan masyarakat Islam modern karena terkungkung berbagai peraturan yang otoritatif. 
     Pemikiran An-Na’im dalam melihat perubahan sosial seperti masa modern ini menjadi penting untuk mengkaji ulang dan mempertimbangkan tentang sekularisme terhadap suatu negara, terutama negara yang berkonstitusi demokrasi. Bentuk pemerintahan itu sangat cocok untuk menghindari politisasi agama yang disebabkan oleh nafsu dari berbagai gerakan islamisme yang banyak muncul akhir abad ke-XX. Seperti di negara Indonesia, genealogi gerakan islamisme itu telah berkembang sejak awal masa Reformasi. Kebebasan berpendapat membuat gerakan fundamental memiliki kebebasan untuk menyebarkan dakwah radikal tentang khilafah islamiyah di Indonesia. 
Hal ini yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), FPI, FKAWIJ,JI, DDII, DN (NII), al-Khairiyah, Laskar Jihad, dan juga gerakan islamisme kanan yang menganut cara pandang Ikhwan al-Muslimin. Mereka memiliki misi dan berambisi menyebarkan dakwah ideologi sistem pemerintahan secara teosentris di Indonesia dengan menggunakan agama sebagai misi politisasi. Kegagalan penalaran Islam dan politik ini yang selalu menyebabkan tindak radikalisasi tak kunjung berhenti. Sampai saat ini, berbagai aksi gerakan islamisasi di Indonesia yang seringkali memicu konflik internal hingga terjadinya kekerasan, tetap mementingkan dakwah ideologi radikal daripada mempertimbangkan kemaslahatan untuk menjunjung nilai-nilai secara manusiawi. Astaqfirullah!   

Riwayat Penulis: 
Muhamad Taufik Kustiawan, 
Alumni IAIN Surakarta, Santri Ponpes Nurussalman, Laweyan, Solo.

UTAMA

LPM Dinamika IAIN Surakarta Berikut Finalis 10 Besar Call For Paper Dies Natalis ke-XIX UKM LPM Dinamika IAIN Surakarta Bagi ...

POPULER